Selasa, 18 Juli 2017

Kapitalisme di Aceh. "Judul Buku: Adat Berdaulat Melawan Kapitalisme di Aceh"

 

Adat Berdaulat Melawan Kapitalisme di Aceh.
   A.     Identitas Buku
1.      Judul Buku : Adat Berdaulat Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh
2.      Pengarang : Affan Ramli, Arianto Sangaji, Fahri Salam, Sulaiman Tripa.
3.      Penerbit : INSISTPress dan PRODEELAT.
4.      Tahun terbit : 2015
5.      Tebal buku : xxviii + 203
6.      Cetakan : I

   B.    Isi Resensi
1.      Ulasan Buku
Serbuaan kapitalisme Global di Aceh yang ditulis oleh Ariaanto Sangaji. Kapitalisme adalah suatu sistem hubugan kelas antar modal dan kerja upahan di dalam produksi komoditi. Kapitalisme berkembang bukan karena globalisasi akan tetapi sifat kapitalisme yang tertanam di dalam sistem tertentu. Kapitalisme juga tidak mengenal batas-batas wilayah reproduksi. Selain itu kapitalisme juga dapat diartikan sebagai suatu sistem yang penuh pertentagan (kontradiktif). Terdapat tiga pertentagan dalam sistem ini, yaitu: yang pertama, pertentagan antara kapital dan praktik-praktik ekonomi bukan kapitalis. Kedua, pertentagan paling pokok dalam sistem  kapitalisme, yakni pemerasan kelas oleh kelas pemodal terhadap kelas pekerja. Dan yang ketiga, pelipat gandaan modal masyarakat lingkugan alam sebagai salah satu sumber bahan baku dan energi sekaligus ruang untuk membuang limbah. Secara empiris kapitalisme global bekerja dalam perjalanan sejarah di serambi Mekkah melalui pelipatgandaan primitif, pemerasan buruh, perusakan lingkugan, kekerasan bersenjata dan bencana alam.
Perlawanan adalah sebagai setiap tindakan oleh kelas yang dikuasai (subordinat) untuk tujuan mengurangi atau menolak pengakuaan yang di bebankan atas mereka oleh kelas penguasa(subordinat). Jadi, kekuatan yang dimiliki masyarakat Aceh untuk melawan kapitalisme yang sudah merajalela di Aceh yaitu : hukum, adat dan Syariat. Hukum tidak bisa diandalkan karena hukum nasional di buat oleh partai politik. Sedangkan Syariat di aceh lebih diarahkan untuk menangani kejahatan pidana(jinayat) dan belum memiliki gagasan menangani kejahatan kapitalisme. Sehingga harapan satu-satunya Adat. Tetapi, adat pun tidak serta merta dapat menjadi senjata perlawanan melawan kapitalisme di  Aceh. Dalam tulisan Affan Ramli di sebutkan bahwa  permasalahanya sekarang adalah sesat pikir kita tentang Adat Aceh yang terlanjur tersebarluas. Seperti pandangan bahwa adat adalah aturan tidak tertulis, Adat dianggap sebagai kebiasaan masa lalu, dan adat di anggap hanya layak menjadi pedoman hidup masyarakat tradisional dan pedalaman. Kekeliruaan ini muncul karena penilitiaan tentang adat yang dilakukan belum terungkap secara sistematis. Jadi, gerakan Adat Aceh di masa depan harus diperbaiki melalui beberapa langkah mendasar yaitu: yang pertama, meluruskan pemaknaan Adat dan membangun penafsiran baru berbasis kajiaan pemikiran yang kokoh. Kedua membangun ideologi Adat sebagai pedoman praktis kader-kader gerakan. Ketiga membangun madzhab epistemologi paham perlawana yang akan melajirkan logika pengetahuaan. Dan menyusun siasat tindakan perlawanan yang ampuh menghadap laju serbuaan kapitalisme global di Aceh.
Mukim adalah keunebah endatu (sesuatu yang ditinggalkan generasi dahulu untuk generasi mendatang). Perkembagan Mukim yang pertama, dimulai dari naskah qanun syara’kesultanan Aceh atau keberadaan mukim sebagai persekutuaan gampong di Aceh mulai di tata ketika berkuasanya sultan Alauddin. Kedua, pada masa penjajahan belanda dan pendidikan jepang. Ketiga, awal kemerdekaan Indonesia. Keempat pada masa orde baru,kelima pada masa reformasi dan yang keenam sesudah bencana Tsunami dan perjanjiaan Helsinki. Kelemahan yang ditemukan dalam gerakan-gerakan perjuangan masyarakat adat sendiri  atau kalangan yang mendukungnya, seperti : melemahnya pemahaman mengenai mukim dan kemampuaan para pelaku dan pendukung gerakan yang umumnya masih rendah. Peraturan mukim dapat dilihat pada UU no 11/2006 pemerintah Aceh dalam konteks mukim di Aceh. Ada dua persoalan penting yang bisa di perdebatkan terkait mukim yaitu pengakuaan mukim melalui positivasi hukum pengakuaan dan secara akademis. Berdasarkan HukumAdat wilayah cakupan mukim meliputi : wilayah luar, teluk yang menjorok tidak terlalu jauh ke darat, wilayah darat yang mencakup gabungan beberapa gampong termasuk : DAS, rawa danau dan sebagainya. Beberapa upaya untuk menunjukkan perubahan seperti : perubahan(dekonstruksi) pola pikir, terutama di kalagan para pembuat kebijakan. Pembangunan ulang (rekonstruksi) model pembaharuaan (reformasi) birokrasi pemerintahan pada semua aras sebagai bagiaan tak terpisahkan dari keseluruhan reformasi sistem politik.
Praktik Perlawanan Mukim Berdaulat yang di tulis oleh Fahri Salam tentang desa-desa yang ada di Aceh. Menurut saya pengalaman atau penelitiaan beliau. Pertama ada desa Lampanah, Lamtuba, dan Lutung.  Lampanah adalah kecamatan terluas di kabupaten Aceh Besar, yang mayoritas masyarakat bertani dan sebagiaanya lagi menggantungkan hidup  di pesisir dan laut. Daerah ini juga memiliki seorang panglima laot yang bernama Darkasyi. Bagi nelayan ada beberapa aturan misalnya pada hari jum’at tidak boleh melaut, kanduri laot  atau hari-hari besar Islam lainnya. Dan masyarakat yang berkebun biasanya memnggunakan lahan komunal. Tapi digarap oleh perseorangan warga. Yang biasanya ditanami kako. Labu , mangga, melon. Dan yang paling penting mangga lampanah sangat terkenal di banda aceh. Masalah pasar dan politik lokal sebelum tsunami diadakan pada malam hari, yaitu malam jum”at, namun setelah tsunami pasar di adakan siang hari karena di takutkan terjadi apa yang tidak kita inginkan. Dan baru pertama kali ada orang lampanah yang terpilih sebagai anggota legislatif. Yang bisa membuat gerakan perubahan di kampung ini, karena sebelumnya daerah ini terbengkalai dan diabaikan karena tidak ada orang dalam(khusus). Tidak berbeda dengan Lampanah, Lamteuba juga mayoritas masyarakat bertani, sebagiaanya lagi bedagang, menggarap kebun dan segelintir pegawai sipil. Sebagiaan orang Lamteuba sangat lihai dalam berburu rusa dan kancil yang dipastikan ada warga yang menjadi pawang. Pawang rusa dapat di kenali dengan di depan rumah mereka digantung kepala rusa atau kancil. Pengelolaan komunal pada saat warga sudah mulai turun ke sawah tidak boleh lagi hewan atau binatang berkeliaran. Binatang-binatang tersebut harus di bawa ke padang meurabee. Sebelum mereka turun sawah, warga wajib membersihkan tali air di lung masing-masing gampong, lalu di susul dengan mengatur pembagiaan air bagi para petani. Sedangkan Lutueng berada di kabupaten Pidimkecamatan Mane, yang diapit oleh pegunugan dan hutan yang lebat. Setiap pagi kita  akan melihat anak-anak yang sekolah berjalan kaki untuk sampai disekolah mereka. Disana belum terdapat Bank atau warnet  yang bisa digunakan. Hutan yang sangat luas dengan wilayah 56000 hektar, yang bisa diktakan dengan hutan lindung. FFI membentuk tim ronda hutan dikalagan warga untuk bertugas memantau wilayah hutan dan mengumpulkan data tentang keadaan hutan. Mayoritas di Lutueng adalah bertani padi selain itu menanam kopi, cengkeh  juga memelihara unggas. Aturan mukim mengenai sungai ialah tidak boleh meracun ikan, bom dan menyetrum. Karena dikhawatirkan anak cucu mereka tidak dapat menikmati hasil alam seperti ikan kerling yang terkenal di daerah tersebut. Imuem mukim dipimpin oleh Sulaiman yang telah mengikuti pelatihan sampai ke Padang. Dan sekarang ia terapkan di kampung tersebut seperti qanun mukim Lutueng yang mengatur kawasan Hutan lindung dan sungai.
 Jadi  kesimpulan dari buku ini ialah kita sebagai masyarakat Aceh harus membuka mata terhadap apa yang terjadi di Aceh, serbuaan kapitalisme yang terus berkembang kita harus bisa menghentikan jangan sampai di jajah oleh orang lain.

2.      Tujuaan penulisan Buku
Alat untuk menantang pemikiran serbakuasa yang mengatakan bahwa”tidak ada tandigan terhadap kapitalisme” juga untuk merebut dan memperbesar lagi kekuatan kalangan orang-orang yang berpikiran terbuka dan percaya bahwa pilihan-pilihan lain yang lebih adil dan berkelanjutan masih mungkin dikerjakan.


3.      Kelebihan Buku
·         Penjelasan yang rinci, sehingga mudah dipahami.
·         Terdapat Bagan-bagan untuk lebih jelas bagi pembaca.
·         Terdapat Indeks untuk kata-kata yang sulit dipahami.
·         Memberikan informasi kepada pembaca tentang imuem mukim dan adat berdaulat untuk melawan kapitalisme khususnya di Aceh.

4.      Kekurangan Buku
·         Banyak terdapat bahasa asing.
·         Bahasanya sulit dipahami bagi pembaca pemula dan banyak mengutip tulisan dari tokoh-tokoh lain.
·         Bahasa yang di gunakan sulit dipahami.
·         Pesan yang disampaikan penulis sulit di pahami bagi pembaca pemula.

    C.    Saran kepada penulis dan pembaca
Saran kepada penulis agar sudi kiranya mengeluarkan buku-buku yang lebih bermanfaat dan menarik bagi pembaca dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.  mengigat sangat sedikit orang-orang yang ingin membaca, padahal tanpa disadari membaca adalah hal yang utama untuk melawan kapitalisme yang terus merajalela. Seperti kata pepatah, “buya krung teu deng-deng, buya tameng meuraseki. Hal inlah yang sekarang terjadi di Aceh.
Saran saya kepada pembaca, ayo baca buku Adat berdaulat melawan kapitalisme di Aceh, dan coba kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. karena isinya sangat menarik didalamnya memuat ilmu pendidikan dan bukan hanya teori saja. 


2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Terimakasih telah mengulas terbitan INSISTPress. Rehal buku ikut ditautakn di laman berikut, http://insistpress.com/katalog/adat-berdaulat-melawan-serbuan-kapitalisme-di-aceh/

    BalasHapus